Selasa, 31 Maret 2009

Fotografi=Kedewasaan ( bagian 2)

Foto: Alm. Bapak H. Boediardjo

Melebur dalam rasa dan komitmen profesi
Perubahan mindset tersebut pada hakikatnya merupakan berkah besar yang pada akhirnya bermanifestasikan dalam bentuk pola berpikir dan cara pandang yang lebih positif dalam bersikap dan hidup bermasyarakat.

Lalu, bagaimana cara kita membina hubungan baik dengan orang lain (di luar komunitas) agar hidup kita menjadi lebih menyenangkan? Nah, mungkin inilah yang harus kita coba latih bagaimana cara menghargai orang lain, komitmen pada profesi dan mengolah rasa sesama fotografer. Kuncinya hanya satu: buat orang lain merasa penting, berharga dan hidup bermasyarakat tanpa membawa predikat sebagai fotografer. Kita harus dikenal semua orang atau masyarakat secara menyeluruh. Mulai dari kepribadian yang baik, attitude, komitmen dan memegang teguh tanggungjawab profesi kita sebagai fotografer.

Mungkin pendapat saya ini sepertinya berlebihan. Tapi sejujurnya yang harus diingat adalah bahwa, kita hidup di negeri timur yang dituntut saling menghargai, ber“tepo seliro” dan bertingkah laku baik. Bila hidup di negeri barat, meski kita punya karya yang bagus tapi memiliki pola berpikir yang sempit dan tingkah laku yang minus, tidak akan dibicarakan oleh orang lain dan tidak terlalu dipersoalkan. Tapi karyanya yang mereka diskusikan.

Disitulah perbedaannya antara kehidupan fotografer di Indonesia dan di luar negeri. Meski saya pernah belajar fotografi di luar negeri dan banyak memberikan makalah seminar fotografi di luar negeri, bukan berarti saya bangga. Justru saya lebih senang berbagi ilmu kepada masyakarat Indonesia, kalau ingin belajar kepada saya soal fotografi. Buat apa saya memajukan negara lain, sedangkan di negeri ini masih membutuhkan pengetahuan fotografi?

Menurut saya, belajar fotografi yang dikaitkan dengan kehidupan, hanya ada di Indonesia. Saya sangat belajar dengan itu. Misalnya: bagaimana cara menghormati dan menghargai orang lain. Kita harus bisa hidup dan diterima ditengah masyarakat, bukan karena profesi kita. Tapi kita dikenal sebagai personal diri yang memiliki pola berpikir dewasa.

Saya masih ingat betul pengalaman menarik tahun 1986 ketika di Bandung bersama almarhum Bapak H. Boediardjo, mantan Menteri Penerangan Republik Indonesia (1968-1973). Saat itu, ada sebuah gathering komunitas fotografer, Bandung yang diprakarsai almarhum. Persoalan utama yang dibahas oleh almarhum adalah: bahwa fotografer itu tidak boleh hidup berkelompok. Sebaiknya blending dengan komunitas lainnya sehingga satu sama lain bisa saling menghargai. Itulah ide almarhum yang sangat saya ingat. Bahwa fotografer itu hidupnya tidak boleh berkelompok. Atau mengkotak-kotakkan diri bahwa saya fotografer jurnalis, wedding, atau lainnya.

Dari pengalaman itu saya berusaha untuk “keluar” dan mulai membaur dengan segala macam lapisan masyarakat tanpa membawa identitas saya sebagai fotografer. Saya mulai belajar akan kedewasaan hidup dari fotografi. Berbagi ilmu kepada masyarkat, meski hanya data teknis secara basic. Buat saya, memberikan data teknis bukanlah pembodohan. Akan tetapi dibalik itu yang lebih penting adalah bahwa setiap foto harus memiliki jiwa/soul. Hal itu baru bisa dilakukan kalau kita sudah pada tahap pengolahan rasa. Karena sebetulnya fotografi adalah: bicara cahaya. Dan cahaya itu harus kita coba, kita lihat, dan kita rasakan.

Menjadi diri sendiri
Sekilas tak ada yang luar biasa dari sebuah kaos. Tapi kaos itu menjadi bernilai bila didisain dengan ilustrasi sebuah nama atau foto. Namun masalahnya, dari goresan yang melekat pada kaos itu, memberikan implikasi negatif kepada yang melihatnya. Bukan yang mengenakan kaos tersebut. Inilah kondisi yang serharusnya tak perlu ada. Padahal, tak semua orang yang mengenakan kaos dengan gambar tertentu itu menunjukkan jati dari diri dari orang yang memakainya.

Menurut saya, pada prinsipnya orang ingin mengenakan kaos berlabel A atau B, bukan sesuatu yang dipersoalkan. Yang mereka pakai bukan kaos untuk kampanye Pemilu. Tapi yang harus digarisbawahi adalah: bahwa yang mengenakan kaos tersebut merasa nyaman dan appreciate terhadap karya yang wajahnya terpasang di kaos yang dikenakannya. Untuk mengenakan kaos tersebut, tentunya mereka harus mengeluarkna kocek dari kantongnya secara suka rela. Tanpa ada unsur paksaan. Mau pakai oke, tidak juga, it’s oke.

Kembali lagi kepada bagaimana menjadi diri sendiri. Seorang fotografer bila ingin memberikan komentar terhadap karya orang lain, seharusnya berpikir dengan rasa terlebih dahulu. Karena seorang fotografer berpikir tanpa didahului dengan rasa, berarti fotografer itu tidak memiliki pendewasaan dalam berpikir.

Selain itu menurut pandangan saya, yang namanya fotografi adalah, tidak hanya berkaitan dengan profesi saja. Tapi, lebih kepada tanggungjawab yang lebih luas lagi. Dan tidak ada lagi persoalan saling mencibir diantara sesama kelompok profesi. Mengapa? Karena kita satu tujuan untuk mengembangkan dunia fotografi di Indonesia.

Sebaiknya, fotografi itu harus dikembangkan dengan kehidupan. Nah, komitmen itu yang harus kita miliki dan pada akhirnya kita tidak akan memiliki musuh. Meski banyak orang menjelekkan saya, tapi TUHAN tidak tidur. TUHAN itu memberikan rezeki kepada ciptaannya, Tidak Kurang dan juga tidak lebih.

Biarkan orang awam yang menilai perilaku dan karya kita. Bukan rekan-rekan seprofesi yang hidup dalam satu lingkungan, menilai karya kita penuh subyektifitas. Suatu ketika, kita akan hidup dalam kondisi sudah tidak berkarya. Dan alangkah manisnya hidup ini bila kita dikenal sebagai orang yang banyak menghasilkan karya yang baik dengan pribadi atau karakter diri yang baik pula. (Selesai)

Fotografi=Kedewasaan ( bagian 1)



Mungkin Anda pernah merasa kesal karena orang lain tidak menghargai Anda. Atau, barangkali Anda juga sering marah karena orang lain tidak memerhatikan Anda. Sepertinya, saling menghormati, menghargai dan tidak mencibirkan karya orang lain, seolah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk dimiliki dan temui saat ini. Padahal, suka atau tidak, kita hidup saling berinteraksi dengan orang lain.


Saya bukan termasuk pengamat dunia fotografi. Tapi saya mencoba untuk berpendapat dan mengatakan berdasarkan pengalaman yang sudah saya alami selama kurang dari tiga puluh tahun bergelut di dunia fotografi. Sejak pertamakali saya memantapkan diri menggeluti dunia ini, perkembangan fotografi di Indonesia hingga kini sungguh memprihatinkan. Itu terlepas dari fotografer profesional atau non profesional.


Sekarang ini, banyak fotografer kita lebih mengembangkan paradigmanya (baca: pola berpikir atau cara pandang) masing-masing untuk menjalani profesinya melalui lensa kepentingan, ketimbang kegentingannya. Akibatnya, tak ada lagi ruang untuk saling menghormati dan menghargai sesama fotografer.


Meski ada hal tersebut, tapi hanya sebatas dalam satu komunitas saja. Banyak sekali penghargaan kepada fotografer itu diberikan di dalam kelompoknya sendiri. Mereka saling memuji di dalam kelompok dan sangat sempit pola berpikirnya. Bila ada fotografer lain menghasilkan karya bagus di luar kelompoknya, mereka dengan cepat berlomba-lomba untuk mencibirnya dengan nada minus.


Mengubah mindset fotografer

Menilai hasil karya orang lain sungguh mudah. Tapi benarkah pendapat kita itu? Seorang fotografer bila ingin menilai karya orang lain, seharusnya berpikir dengan rasa terlebih dahulu. Karena seorang fotografer berpikir tanpa didahului dengan rasa, berarti fotografer itu tidak memiliki pendewasaan dalam berpikir. Permasalahannya adalah, benarkah pujian dan menghargai karya sesama fotografer dalam sebuah komunitas itu berangkat dari hati yang tulus?


Menurut pengalaman saya, hal itu hanyalah sebatas topeng belaka. Kelihatannya kumpulan dari fotografer itu kompak dalam community-nya. Tapi dibelakangnya mereka saling bersaing dan membandingkan. Ya, layaknya orang menjual “pompa dragon” yang melakukan praktik bisnis fotografi dengan cara menjatuhkan dan bersifat fisik semata. Baginya, sukses mendapatkan sebanyak-banyaknya materi adalah tujuan utamanya meski harus dengan cara seperti penjual “pompa dragon”. (Dahulu di pasar Senen, Jakarta, sepanjang jalan banyak sekali orang menjual pompa dragon dengan memberi label “paling murah”. Padahal, disamping kiri-kanannya juga menjual pompa dengan merk dan kualitas yang sama)


Tapi apakah dengan cara seperti itu kesuksesan diraih? Melihat kondisi seperti ini saya menilai, dunia fotografi itu dunianya “iri”. Atau kalau boleh saya meminjam istilah Gus Dur, dunia fotografi di Indonesia sama halnya dengan Dunia Taman Kanak-kanak. Padahal, kita itu hidup dalam satu atap rumah yang namanya fotografi. Kita hidup bukan untuk saling bersaing. Tapi kita ada untuk saling melengkapi.


Sebenarnya, semua itu bermuara pada cara pandang, pola pikir dan komitmen rasa fotografer kepada profesinya. Sementara ini, kebanyakan para fotografer kita yang sudah lama menggeluti dunia fotografi, nyaris tidak memiliki kedewasaan dalam pola berpikir. Kebanyakan dari mereka, lagi-lagi menurut pendapat saya, tidak pernah menghargai orang muda dengan karya-karyanya. Bagi mereka, yang muda haruslah menghargai dan menghormati seniornya.


Begitu pun sebaliknya. Menurut saya, yang muda juga tak menghargai para seniornya. Jelaslah terlihat yang ada hanyalah saling mencela, mencibir, beroritentasi pada materi dan itu sudah menjadi sebuah karekter umum. Dan hukum yang berlaku adalah antara senior dan yunior. Justru yang harus dibangun adalah, bagaimana satu sama lain harus bisa saling menghargai dan menghormati tanpa melihat status.


Untuk bisa mengubah cara pandang, pola berpikir yang disebut paradigma, sama halnya seperti kacamata. Paradigma ini sangat mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita. Buat saya, dalam fotografi itu terdapat proses pendewasaan. Untuk bisa mencapai hal itu dalam berpikir dan berprilaku, sungguh membutuhkan waktu.


Untuk itulah, saya mendirikan sekolah fotografi. Materi yang kita berikan di sekolah ini tak sekadar teknik belaka. Tapi lebih dari itu misalnya, bagaimana cara mengendalikan hati, pikiran, mengamalkan ilmu, tidak berpikir secara kelompok tetapi lebih blending dan bersifat nasional. Bahkan kalau bisa mengglobal. Itu yang lebih penting.

(bersambung)

Sebuah Renungan


Belajar Hidup Dari Fotografi Atau Hidup Dari Belajar Fotografi

Saya sampai saat ini masih belajar hidup dari fotografi. Buat saya, fotografi adalah sarana untuk menjadi dewasa dan pembelajaran menghargai arti hidup. Mulai dari cara berpikir dan bertindak. Maka beruntunglah orang yang belajar fotografi kemudian dapat menyelaraskan dengan kehidupannya sehari-hari.

Dalam aktivitas fotografi, bisa saya sandingkan dengan kehidupan. Menurut saya, foto itu adalah diary. Dengan Diary kita bisa instropeksi diri dan belajar dari perjalanan hidup yang tak bisa diulang. Misalnya kita memotret saat ini menghasilkan karya foto yang bagus. Besok paginya pasti berbeda. Mulai dari feeling, atmosfir dan mood.

Syurganya kehidupan di dunia bila kita bisa menikmati proses pembelajaran dari dunia fotografi. Tapi jika kita hanya masuk kedalam suatu kondisi fisiknya saja tanpa menerapkan filosofi dari proses karya foto di dalam fotografi, ya tidak akan nikmat.

Sama halnya bila kita bermain musik. Kalau cuma menghafal not baloknya tanpa ada penghayatan, tidak akan “hidup” permainan. Menurut saya, seseorang dikatakan musisi sejati pada saat dia Jam Session. Sebab yang dimainkan tidak hanya pada soal teknis. Tapi pada penghayatan permainan. Disitulah kenikmatannya.

Begitu juga dengan saya. Karena saya respek pada wanita, saat pemotretan saya selalu mencoba untuk total, menghayati dan melebur didalam menuangkan imajinasi saya. Tujuannya agar hasil karya foto yang akan saya ciptakan itu lebih maksimal dan foto menjadi lebih “hidup”. Tapi bukan berarti saya tidak suka memotret obyek lain. Tidak.

Hidup dari belajar fotografi. Komunitas fotografi di Indonesia, tak ada bedanya dengan sekolah Taman Kanak-kanak. Mereka masih egois, tidak mau sharing, dan bersaing secara tidak sehat. Mengapa demikian? Karena tujuan utamanya belajar fotografi semata-mata hanya untuk mengejar kekayaan alias materi.

Tak heran, karena materi yang diburunya otomatis tak akan ada kepuasan dalam hidup. Akibatnya saat menghadapi persaingan seringkali menghalalkan segala cara dan tidak fair. Buat saya persaingan sah-sah saja asalkan mengacu pada sebuah hasil karya --dan si pencipta karya-- meyakini bahwa jalan yang ditempuhnya sudah bagus. Tapi bila tidak, pikirannya akan menjadi negatif.

Sulitnya adalah, kita ingin berpikiran ideal tapi pada tataran realiltasnya adalah: kita perlu sandang, pangan dan papan untuk tetap bisa hidup. Namun kalau semua itu sudah terpenuhi dan tetap masih merasa kurang, maka tuhan kita adalah: Harta. Padahal Sang Pencipta telah memberi materi “lebih” kepada kita melalui karya fotografi untuk tetap bisa menjalani kehidupan.

Pada akhirnya, hingga detik ini saya bersyukur TUHAN masih memberi rezeki melalui kamera. Dengan kotak perekam waktu inilah, saya juga banyak belajar dan masih tetap belajar untuk menjadi dewasa dalam menjalani kehidupan di dunia ini.