Selasa, 31 Maret 2009

Fotografi=Kedewasaan ( bagian 1)



Mungkin Anda pernah merasa kesal karena orang lain tidak menghargai Anda. Atau, barangkali Anda juga sering marah karena orang lain tidak memerhatikan Anda. Sepertinya, saling menghormati, menghargai dan tidak mencibirkan karya orang lain, seolah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk dimiliki dan temui saat ini. Padahal, suka atau tidak, kita hidup saling berinteraksi dengan orang lain.


Saya bukan termasuk pengamat dunia fotografi. Tapi saya mencoba untuk berpendapat dan mengatakan berdasarkan pengalaman yang sudah saya alami selama kurang dari tiga puluh tahun bergelut di dunia fotografi. Sejak pertamakali saya memantapkan diri menggeluti dunia ini, perkembangan fotografi di Indonesia hingga kini sungguh memprihatinkan. Itu terlepas dari fotografer profesional atau non profesional.


Sekarang ini, banyak fotografer kita lebih mengembangkan paradigmanya (baca: pola berpikir atau cara pandang) masing-masing untuk menjalani profesinya melalui lensa kepentingan, ketimbang kegentingannya. Akibatnya, tak ada lagi ruang untuk saling menghormati dan menghargai sesama fotografer.


Meski ada hal tersebut, tapi hanya sebatas dalam satu komunitas saja. Banyak sekali penghargaan kepada fotografer itu diberikan di dalam kelompoknya sendiri. Mereka saling memuji di dalam kelompok dan sangat sempit pola berpikirnya. Bila ada fotografer lain menghasilkan karya bagus di luar kelompoknya, mereka dengan cepat berlomba-lomba untuk mencibirnya dengan nada minus.


Mengubah mindset fotografer

Menilai hasil karya orang lain sungguh mudah. Tapi benarkah pendapat kita itu? Seorang fotografer bila ingin menilai karya orang lain, seharusnya berpikir dengan rasa terlebih dahulu. Karena seorang fotografer berpikir tanpa didahului dengan rasa, berarti fotografer itu tidak memiliki pendewasaan dalam berpikir. Permasalahannya adalah, benarkah pujian dan menghargai karya sesama fotografer dalam sebuah komunitas itu berangkat dari hati yang tulus?


Menurut pengalaman saya, hal itu hanyalah sebatas topeng belaka. Kelihatannya kumpulan dari fotografer itu kompak dalam community-nya. Tapi dibelakangnya mereka saling bersaing dan membandingkan. Ya, layaknya orang menjual “pompa dragon” yang melakukan praktik bisnis fotografi dengan cara menjatuhkan dan bersifat fisik semata. Baginya, sukses mendapatkan sebanyak-banyaknya materi adalah tujuan utamanya meski harus dengan cara seperti penjual “pompa dragon”. (Dahulu di pasar Senen, Jakarta, sepanjang jalan banyak sekali orang menjual pompa dragon dengan memberi label “paling murah”. Padahal, disamping kiri-kanannya juga menjual pompa dengan merk dan kualitas yang sama)


Tapi apakah dengan cara seperti itu kesuksesan diraih? Melihat kondisi seperti ini saya menilai, dunia fotografi itu dunianya “iri”. Atau kalau boleh saya meminjam istilah Gus Dur, dunia fotografi di Indonesia sama halnya dengan Dunia Taman Kanak-kanak. Padahal, kita itu hidup dalam satu atap rumah yang namanya fotografi. Kita hidup bukan untuk saling bersaing. Tapi kita ada untuk saling melengkapi.


Sebenarnya, semua itu bermuara pada cara pandang, pola pikir dan komitmen rasa fotografer kepada profesinya. Sementara ini, kebanyakan para fotografer kita yang sudah lama menggeluti dunia fotografi, nyaris tidak memiliki kedewasaan dalam pola berpikir. Kebanyakan dari mereka, lagi-lagi menurut pendapat saya, tidak pernah menghargai orang muda dengan karya-karyanya. Bagi mereka, yang muda haruslah menghargai dan menghormati seniornya.


Begitu pun sebaliknya. Menurut saya, yang muda juga tak menghargai para seniornya. Jelaslah terlihat yang ada hanyalah saling mencela, mencibir, beroritentasi pada materi dan itu sudah menjadi sebuah karekter umum. Dan hukum yang berlaku adalah antara senior dan yunior. Justru yang harus dibangun adalah, bagaimana satu sama lain harus bisa saling menghargai dan menghormati tanpa melihat status.


Untuk bisa mengubah cara pandang, pola berpikir yang disebut paradigma, sama halnya seperti kacamata. Paradigma ini sangat mempengaruhi cara kita melihat segala sesuatu dalam hidup kita. Buat saya, dalam fotografi itu terdapat proses pendewasaan. Untuk bisa mencapai hal itu dalam berpikir dan berprilaku, sungguh membutuhkan waktu.


Untuk itulah, saya mendirikan sekolah fotografi. Materi yang kita berikan di sekolah ini tak sekadar teknik belaka. Tapi lebih dari itu misalnya, bagaimana cara mengendalikan hati, pikiran, mengamalkan ilmu, tidak berpikir secara kelompok tetapi lebih blending dan bersifat nasional. Bahkan kalau bisa mengglobal. Itu yang lebih penting.

(bersambung)

Tidak ada komentar: