Selasa, 31 Maret 2009

Sebuah Renungan


Belajar Hidup Dari Fotografi Atau Hidup Dari Belajar Fotografi

Saya sampai saat ini masih belajar hidup dari fotografi. Buat saya, fotografi adalah sarana untuk menjadi dewasa dan pembelajaran menghargai arti hidup. Mulai dari cara berpikir dan bertindak. Maka beruntunglah orang yang belajar fotografi kemudian dapat menyelaraskan dengan kehidupannya sehari-hari.

Dalam aktivitas fotografi, bisa saya sandingkan dengan kehidupan. Menurut saya, foto itu adalah diary. Dengan Diary kita bisa instropeksi diri dan belajar dari perjalanan hidup yang tak bisa diulang. Misalnya kita memotret saat ini menghasilkan karya foto yang bagus. Besok paginya pasti berbeda. Mulai dari feeling, atmosfir dan mood.

Syurganya kehidupan di dunia bila kita bisa menikmati proses pembelajaran dari dunia fotografi. Tapi jika kita hanya masuk kedalam suatu kondisi fisiknya saja tanpa menerapkan filosofi dari proses karya foto di dalam fotografi, ya tidak akan nikmat.

Sama halnya bila kita bermain musik. Kalau cuma menghafal not baloknya tanpa ada penghayatan, tidak akan “hidup” permainan. Menurut saya, seseorang dikatakan musisi sejati pada saat dia Jam Session. Sebab yang dimainkan tidak hanya pada soal teknis. Tapi pada penghayatan permainan. Disitulah kenikmatannya.

Begitu juga dengan saya. Karena saya respek pada wanita, saat pemotretan saya selalu mencoba untuk total, menghayati dan melebur didalam menuangkan imajinasi saya. Tujuannya agar hasil karya foto yang akan saya ciptakan itu lebih maksimal dan foto menjadi lebih “hidup”. Tapi bukan berarti saya tidak suka memotret obyek lain. Tidak.

Hidup dari belajar fotografi. Komunitas fotografi di Indonesia, tak ada bedanya dengan sekolah Taman Kanak-kanak. Mereka masih egois, tidak mau sharing, dan bersaing secara tidak sehat. Mengapa demikian? Karena tujuan utamanya belajar fotografi semata-mata hanya untuk mengejar kekayaan alias materi.

Tak heran, karena materi yang diburunya otomatis tak akan ada kepuasan dalam hidup. Akibatnya saat menghadapi persaingan seringkali menghalalkan segala cara dan tidak fair. Buat saya persaingan sah-sah saja asalkan mengacu pada sebuah hasil karya --dan si pencipta karya-- meyakini bahwa jalan yang ditempuhnya sudah bagus. Tapi bila tidak, pikirannya akan menjadi negatif.

Sulitnya adalah, kita ingin berpikiran ideal tapi pada tataran realiltasnya adalah: kita perlu sandang, pangan dan papan untuk tetap bisa hidup. Namun kalau semua itu sudah terpenuhi dan tetap masih merasa kurang, maka tuhan kita adalah: Harta. Padahal Sang Pencipta telah memberi materi “lebih” kepada kita melalui karya fotografi untuk tetap bisa menjalani kehidupan.

Pada akhirnya, hingga detik ini saya bersyukur TUHAN masih memberi rezeki melalui kamera. Dengan kotak perekam waktu inilah, saya juga banyak belajar dan masih tetap belajar untuk menjadi dewasa dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Tidak ada komentar: