Kamis, 14 Mei 2009
Majalah Indonesian Photo
Telah terbit Majalah Indonesian Photo edisi 10. Bila ingin mendapatkan, silahkan hubungi melalui email: adarwistriadi@gmail.com
Jumat, 08 Mei 2009
Rusdy Rukmarata
Foto by: Darwis Triadi
Dibalik Gerakkan Nan Lentur
Mengagumi penari balet memang lebih mudah ketimbang menirukannya. Namun bagi Rusdy Rukmarata –saat masih SMA— sekadar mengagumi tak ada manfaatnya. Ia ingin menjadi profesional seperti penari Linda karim yang saat itu datang memberikan ekstra kurikuler menari di sekolahannya.
Karena peminat tak banyak, jadilah Rusdy diajak keliling menari. Cerita pun menjadi sangat biasa bagi orang yang kemudian mau konsisten dengan pilihannya. Rusdy menimba ilmu dari orang-orang piawai dibidang tari modern seperti: Linda Karim, Roy Tobing, Rudy Wowor hingga Farida Oetoyo.
Ia menjadi lebih mantap dengan menjadikan tari sebagai pilihan hidup saat memperoleh beasiswa dari British Council untuk belajar tarian kontemporer dan koreografi di London Contemporary Dance School selama 1 tahun pada 1985. “Yang paling penting dari masa sekolah di London adalah, saya menjadi amat percaya diri,” ujarnya.
Saat datang ke London, ia merasa khawatir harus bersaing dengan mahasiswa lain dari seluruh dunia. Minder tepatnya. “Saya pikir mereka orang-orang yang sudah amat expert di negara asal mereka,” kenangnya. Ternyata ia lulus program pendidikan selama satu tahun tersebut dengan hasil amat sangat memuaskan.
Pulang dari London, ia merasa yakin, tari adalah jalannya. Makanya ia meninggalkan sekolahnya di fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Universitas Nasional. “Saya merasa penari di Eropa maupun AS dapat berkembang. Karena mereka memang banyak meluangkan waktu untuk berlatih. Sementara penari di sini jarang mengasah ilmu tarinya itu,” ungkapnya.
Namun kemampuan individual Rusdy sebagai penari atau penata tari lebih berkembang atau ditunjang dengan kemampuannya berorganisasi. Ia sadar penuh balet di Indonesia belumlah dikategorikan sebagai one man show. Setenar apapun penari itu.
Dalam bidang tari ia membentuk kelompok teater tari “Era Duaribu” –maaf yang ini tak ada hubungannya dengan perusahaan penjual rumah— segera setelah pulang dari Inggris. Perkawinannya dengan Herwindra Aiko Senosoenoto juga membuka kesempatan karena ia langsung masuk dalam suatu komunitas umat Buddha Nicheren Syosyu Indonesia dengan sumber daya yang tak ada habisnya.
Rusdy yang dianugerahi sebagai Pandita Utama Buddha Dharma Indonesia pada 1993 itu, kemudian segera membentuk Eksotika Karmawibhangga Indonesia Productions. Dalam EKI ini ia kerap kali tampil dengan adik iparnya Takako Leen Senosoenoto. “Dari awal membentuk kelompok tari, saya melakukannya dengan kesadaran bahwa balet ini dapat menjadi media penyampaian suatu pesan perubahan,” ujarnya.
Untuk lebih mengefektifkannya, ia merasa perlu menggabungkan dengan cabang-cabang kesenian lainnya seperti: seni suara. Atau bahkan pewayangan khususnya denga para dalang. Karena itu dalam EKI ini bergabung pula nama-nama seperti pemusik Dian AGP dan dalang Sujiwo Tejo. Dengan nama EKI, pementasan menjadi lebih beragam dengan melibatkan unsur seni tari, musik, pedalangan bahkan ia pernah melibatkan pula penyair Sitok Srengenge dalam suatu pementasan.
Sebagai koreografer, karya Rusdy sudah terhitung banyak dipentaskan bersama kelompoknya. Seperti “Nona dan Tuan” di Makassar Art Forum pada 1999, “Madame Dasima” di TIM Jakarta (2001) hingga “Love Lost” dalam acara NAISDA Dance College End Year Production di Sydney Australia (2001).
Bagi Rusdy, tari mampu menjadi refleksi dari pemikirannya tentang kondisi sosial politik. Koreografinya mengangkat tema-tema seperti: gay, aborsi, seks bebas dan belakangan ia merasa asyik membongkar masalah-masalah sosial kota besar. Seperti masalah rumah tanga, perselingkuhan suami-istri dll. “Saya hanya ingin mengangkat persoalan-persoalan tersebut tanpa memberi penilaian. Karena memang persoalannya tidak sekadar hitam-putih,” lanjut Rusdy.
Bagi Rusdy perasaan passion atau nafsu bagi seorang pebalet dan pasangannya itu mutlak perlu. “Masalahnya bagaimana kita dapat memanfaatkan nafsu itu untuk tidak membuat kita terperangkap dan menjadi diam. Namun justru lebih kreatif dengan olah tubuh dan gerak kita,” katanya menutup pembicaraan.
Selasa, 05 Mei 2009
INTERNATIONAL TEEN FASHION PHOTO COMPETITION
Batas akhir lomba: 01 Agustus 2009
Senin, 04 Mei 2009
Anahata Restaurant
Menikmati Hidangan Alami
Foto by: Darwis Triadi
Pulau Dewata tidak hanya menjanjikan keajaiban alam dan keindahan budaya saja, tetapi juga eksotisme seni kulinernya. Masakan dengan rasa khas yang dibungkus dengan suatu seni memasak yang berbeda, tentu akan mempunyai keistimewaan tersendiri.
Apalagi kenikmatan dari makanan tersebut dipadukan dengan sebuah tempat yang tenang untuk merehatkan tubuh. Dan paduan dua kenikmatan tersebut ada di Anahata Villas & Spa Resort. Yaitu sebuah penginapan sekaligus restoran dengan seni dan cita rasa masakan tradisonal Bali yang disajikan dengan wajah berbeda.
Selain mengedepankan unsur rasa pada restorannya, tempat ini juga sangat memperhatikan estetika keseluruhannya. Nuansa back to nature yang menghiasnya diwujudkan dengan tidak mengubah elemen yang ada pada alam sama sekali.
Hal ini dimaksudkan untuk lebih memaksimalkan keindahan sumber daya tersebut. Seperti diungkapkan Dewa Gede Sudharsana, selaku executive Chef bahwa mereka hanya mengkombinasikan apa yang ada. “Sehingga unsur-unsur estetis yang menyatu dengan alam tersebut bisa dinikmati oleh para tamu,” ujarnya.
Anahata Villas & Spa Resort yang diambil dari bahasa sansekerta berarti: Cinta dan Kasih Sayang, beropersi sejak Nopember 2004 dengan mengusung visi natural retreat for mind body and soul. Dengan visi itu diharapkan tamu yang menginap atau datang akan mendapatkan sebuah keharmonisan antara jiwa, pikiran yang berpadu dengan keselarasan alam.
Selaras dengan konsep Anahata Resort, restonyapun tak mempunyai spesifikasi tertentu seperti: fusion atau cosy. Beragam hidangan dari tradisional sampai international, hingga vegetarian tersedia disini. Anahata restoran menyajikan makanan sehat, alami serta bercita rasa khas Bali.
Uniknya menurut Dewa, semua bahan makanan tersebut murni berasal dari alam sekitar. Adapun alasan resto ini mengutamakan konsep makanan tradisional Bali dengan menu sehat vegetaris, mengingat kebanyakan pengunjung atau tamu yang menginap adalah peyoga. Karena kebanyakan tamu-tamu tersebut adalah vegetarian.
Tetapi di sisi lain upaya untuk menghadirkan menu khas Bali tersebut adalah untuk memperkenalkan sekaligus mensejajarkan makanan tradisonal Indonesia khususnya Bali dengan kuliner international.
Apalagi penyajian dari masakan ini sangat mengedepankan unsur seni yang dibungkus oleh cita rasa yang tinggi. Menu unik dari Anahata adalah: Bebek goreng garing dan bebek betutu. Masakan khas Bali ini sendiri sangat jarang dihidangkan oleh restoran lain.
Menu bebek goreng garing dan bebek betutu ini sendiri diolah secara khusus serta di sajikan dengan sambal tiga warna unik dengan rasa spesial. Disamping itu, menu andalan lainnya adalah banana spring roll, yaitu: pisang goreng yang di modifikasi menggunakan kulit lumpia berisi keju dan potongan coklat di dalamnnya. Penyajiannya disertai dengan dengan saus kiwi serta orange.
Melihat tanggapan yang sangat positif dari para tamu maka tidak heran jika restoran ini mengupayakan untuk terus menjaga kepercayaan pelanggannya tersebut. Untuk menjaga cita rasa dan mempertahankan kekhasan menu tersebut, Anahata Restoran telah menyetandarkan semua sisi penyajiannya. Mulai dari resep hingga cara pengolahannya. Bahkan untuk menyempurnakan, pihak Anahata selalu melakukan uji coba secara berkala.
Hasilnya setiap tamu yang berkunjung sangat antusias menikmati hidangan tersebut. Mereka pasti ingin kembali mencicipi bebek goreng garing spesial dengan sambal khusus tersebut. Bahkan beberapa tamu khusus datang untuk itu menu khusus spesial yang hanya ada di Anahata Restoran.
(Artikel ini sudah dimuat di Majalah Prioritas BCA edisi 17, Juli-agustus 2007)
Jumat, 01 Mei 2009
Angelina Sondakh
Foto dan naskah: Darwis Triadi
Saya Tidak Kamera Face
Perempuan di hadapanku, matanya menatap langit-langit ruangan. Ia tengah merangkai kata dalam benaknya. Ia sedang mencoba untuk mengurai tanya yang kusodorkan kepadanya, tentang posisi wanita di kancah dunia politik yang didominasi kaum adam. Jemarinya yang lentik, mengusap beberapa helai rambut yang menempel dikeningnya.
Setelah menyelesaikan kalimat itu dengan kesungguhan, sarjana Ekonomi dari Unika Atmajaya Jakarta ini, kembali mengulas bibirnya dengan gincu berwarna merah. Banyak hal menarik dari mantan Putri Indonesia 2001 ini, batinku. Pengagum Mother Theresia, Hillary Clinton dan Margaret Thatcher ini memiliki segudang prestasi.
“Sekarang aku sudah siap untuk ditanya lagi,” tutur dara kelahiran Australia, 28 Desember 1977 ini, lantas tersenyum. Pertanyaan berikutnya mengenai, merekahnya industri perfilman di Indonesia. Kata Angie --begitu panggilan akrabnya-- diperlukan beragam piranti untuk melindungi industri film agar dapat berkembang secara sehat di Indonesia. “Sudah saatnya industri ini mendapat payung hukum yang baik,” tutur perempuan bertinggi 170 sentimeter dan berat tubuh 55 kilogram ini.
Kedua bola matanya terus bergerak. Keningnya beberapa saat sempat berkerut. Sepertinya penyuka olahraga renang ini masih menyimpan kalimat penting. Film, kata Angie, selain sebagai sarana hiburan, juga bisa menjadi sebuah mediasi untuk menjaga nilai-nilai luhur budaya. “Jadi film tak hanya ditempatkan pada satu ruang dan fokus pada profit oriented saja,” katanya lugas.
Buat Angie, “Lebih baik saya mencari pemetaan atau positioning dimana saya bisa menonjolkan keunggulan-keunggulan saya yang lain,” papar Angie yang aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Mulai dari urusan politik hingga pornografi. Bahkan ia pun pernah membawakan makalah Save The Last Wild Orangutan di Harvad University.