Jumat, 08 Mei 2009

Rusdy Rukmarata



Foto by: Darwis Triadi


Dibalik Gerakkan Nan Lentur


Balet. Ketika Sherina Munaf menyanyi dengan memperagakan gerak balet, banyak orang tua yang tergerak mengenalkan tari ini kepada anak-anak mereka. Balet dengan alunan tubuh, tangan, putaran badan serta –terutama—gaya berjalan jinjit memang amat mempesona. Biar pun Sherina melakukannya masih jauh dari sempurna.


Mengagumi penari balet memang lebih mudah ketimbang menirukannya. Namun bagi Rusdy Rukmarata –saat masih SMA— sekadar mengagumi tak ada manfaatnya. Ia ingin menjadi profesional seperti penari Linda karim yang saat itu datang memberikan ekstra kurikuler menari di sekolahannya.


Karena peminat tak banyak, jadilah Rusdy diajak keliling menari. Cerita pun menjadi sangat biasa bagi orang yang kemudian mau konsisten dengan pilihannya. Rusdy menimba ilmu dari orang-orang piawai dibidang tari modern seperti: Linda Karim, Roy Tobing, Rudy Wowor hingga Farida Oetoyo.


Ia menjadi lebih mantap dengan menjadikan tari sebagai pilihan hidup saat memperoleh beasiswa dari British Council untuk belajar tarian kontemporer dan koreografi di London Contemporary Dance School selama 1 tahun pada 1985. “Yang paling penting dari masa sekolah di London adalah, saya menjadi amat percaya diri,” ujarnya.


Saat datang ke London, ia merasa khawatir harus bersaing dengan mahasiswa lain dari seluruh dunia. Minder tepatnya. “Saya pikir mereka orang-orang yang sudah amat expert di negara asal mereka,” kenangnya. Ternyata ia lulus program pendidikan selama satu tahun tersebut dengan hasil amat sangat memuaskan.


Pulang dari London, ia merasa yakin, tari adalah jalannya. Makanya ia meninggalkan sekolahnya di fakultas Sastra Universitas Indonesia dan Universitas Nasional. “Saya merasa penari di Eropa maupun AS dapat berkembang. Karena mereka memang banyak meluangkan waktu untuk berlatih. Sementara penari di sini jarang mengasah ilmu tarinya itu,” ungkapnya.


Namun kemampuan individual Rusdy sebagai penari atau penata tari lebih berkembang atau ditunjang dengan kemampuannya berorganisasi. Ia sadar penuh balet di Indonesia belumlah dikategorikan sebagai one man show. Setenar apapun penari itu.


Dalam bidang tari ia membentuk kelompok teater tari “Era Duaribu” –maaf yang ini tak ada hubungannya dengan perusahaan penjual rumah— segera setelah pulang dari Inggris. Perkawinannya dengan Herwindra Aiko Senosoenoto juga membuka kesempatan karena ia langsung masuk dalam suatu komunitas umat Buddha Nicheren Syosyu Indonesia dengan sumber daya yang tak ada habisnya.


Rusdy yang dianugerahi sebagai Pandita Utama Buddha Dharma Indonesia pada 1993 itu, kemudian segera membentuk Eksotika Karmawibhangga Indonesia Productions. Dalam EKI ini ia kerap kali tampil dengan adik iparnya Takako Leen Senosoenoto. “Dari awal membentuk kelompok tari, saya melakukannya dengan kesadaran bahwa balet ini dapat menjadi media penyampaian suatu pesan perubahan,” ujarnya.


Untuk lebih mengefektifkannya, ia merasa perlu menggabungkan dengan cabang-cabang kesenian lainnya seperti: seni suara. Atau bahkan pewayangan khususnya denga para dalang. Karena itu dalam EKI ini bergabung pula nama-nama seperti pemusik Dian AGP dan dalang Sujiwo Tejo. Dengan nama EKI, pementasan menjadi lebih beragam dengan melibatkan unsur seni tari, musik, pedalangan bahkan ia pernah melibatkan pula penyair Sitok Srengenge dalam suatu pementasan.


Sebagai koreografer, karya Rusdy sudah terhitung banyak dipentaskan bersama kelompoknya. Seperti “Nona dan Tuan” di Makassar Art Forum pada 1999, “Madame Dasima” di TIM Jakarta (2001) hingga “Love Lost” dalam acara NAISDA Dance College End Year Production di Sydney Australia (2001).


Bagi Rusdy, tari mampu menjadi refleksi dari pemikirannya tentang kondisi sosial politik. Koreografinya mengangkat tema-tema seperti: gay, aborsi, seks bebas dan belakangan ia merasa asyik membongkar masalah-masalah sosial kota besar. Seperti masalah rumah tanga, perselingkuhan suami-istri dll. “Saya hanya ingin mengangkat persoalan-persoalan tersebut tanpa memberi penilaian. Karena memang persoalannya tidak sekadar hitam-putih,” lanjut Rusdy.


Tumbangnya kekuasaan Soeharto sedikit banyak lebih membebaskannya dalam berkreasi. “Cerita wayang yang disakralkan pada masa Orde Baru dengan sistem penilaian yang begitu hitam-putih, sekarang dapat lebih interpretative. Dan ini yang sebenarya hidup di masyarakat kita.”


Misalnya ia mencontohkan, Pandawa tidak selalu baik. Atau sebenarnya Dewi Shinta itu seorang setia atau pernah berselingkuh dan (jatuh cinta) pada Rahwana? Wah-wah. Bagaimana bisa memerankan Shinta yang cantik jelita harus bergerak seirama dengan Rahwana yang mestinya gerakkannya rada-rada break dance?


Bagi Rusdy perasaan passion atau nafsu bagi seorang pebalet dan pasangannya itu mutlak perlu. “Masalahnya bagaimana kita dapat memanfaatkan nafsu itu untuk tidak membuat kita terperangkap dan menjadi diam. Namun justru lebih kreatif dengan olah tubuh dan gerak kita,” katanya menutup pembicaraan.


Penari: Rusdy Rukmarata & Takako Leen Senosoenoto Busana: Samuel Wattimena & Koleksi Pribadi


(Majalah EYE INDONESIA, edisi 02- Februari 2002)

Tidak ada komentar: