Jumat, 01 Mei 2009

Angelina Sondakh


Foto dan naskah: Darwis Triadi

Saya Tidak Kamera Face

Perempuan di hadapanku, matanya menatap langit-langit ruangan. Ia tengah merangkai kata dalam benaknya. Ia sedang mencoba untuk mengurai tanya yang kusodorkan kepadanya, tentang posisi wanita di kancah dunia politik yang didominasi kaum adam. Jemarinya yang lentik, mengusap beberapa helai rambut yang menempel dikeningnya.


Tema-tema perempuan selalu menggelitik lajang satu ini. Tak terkecuali soal rencana kuota 30 persen bagi perempuan untuk duduk di kursi lembaga tinggi negara. “Tolong berikan peluang dan sediakan panggung politik untuk perempuan,” ujar Angelina Patricia Pingkan Sondakh.


Anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat di Komisi X (Pendidikan, Budaya dan Pariwisata, Pemuda & Olahraga) ini, kemudian mengungkapkan bahwa ia tak ingin adanya perbedaan antar pria dan wanita. “Laki-laki dan perempuan itu memang berbeda. Tetapi mari kita bangun kemitraan laki-laki dan perempuan dalam dunia politik sekalipun” ujarnya di sela-sela pemotretan Cover Majalah Prioritas BCA edisi 15 Maret-April 2007.


Setelah menyelesaikan kalimat itu dengan kesungguhan, sarjana Ekonomi dari Unika Atmajaya Jakarta ini, kembali mengulas bibirnya dengan gincu berwarna merah. Banyak hal menarik dari mantan Putri Indonesia 2001 ini, batinku. Pengagum Mother Theresia, Hillary Clinton dan Margaret Thatcher ini memiliki segudang prestasi.


Sebut saja sebagai pendiri WOMAN (Women Act for Humanity and Environment), pengurus KNPI bidang perempuan (2003-2007), Ketua Umum Miss Indonesia Club (2005-2008), anggota Dewan Pakar Partai Demokrat, Duta Orangutan dan terakhir Duta Batik.


“Sekarang aku sudah siap untuk ditanya lagi,” tutur dara kelahiran Australia, 28 Desember 1977 ini, lantas tersenyum. Pertanyaan berikutnya mengenai, merekahnya industri perfilman di Indonesia. Kata Angie --begitu panggilan akrabnya-- diperlukan beragam piranti untuk melindungi industri film agar dapat berkembang secara sehat di Indonesia. “Sudah saatnya industri ini mendapat payung hukum yang baik,” tutur perempuan bertinggi 170 sentimeter dan berat tubuh 55 kilogram ini.


Matanya agak menerawang. Lalu, bagai rantai dan saling bertaut, Angie pun mengatakan. “Sekarang kan belum jelas bagaimana sistem perpajakan industri film di Indonesia, cara mengimport hingga perlindungan bagi sumberdayanya. Termasuk anak-anak dan artis itu sendiri,” tegas pelahap buku Hillary’s Choice.


Kedua bola matanya terus bergerak. Keningnya beberapa saat sempat berkerut. Sepertinya penyuka olahraga renang ini masih menyimpan kalimat penting. Film, kata Angie, selain sebagai sarana hiburan, juga bisa menjadi sebuah mediasi untuk menjaga nilai-nilai luhur budaya. “Jadi film tak hanya ditempatkan pada satu ruang dan fokus pada profit oriented saja,” katanya lugas.


Tapi, apakah bungsu dari lima bersaudara ini sempat terlintas ingin bermain film? “Saya sadar betul, kalau saya itu nggak kamera face,” tuturnya, kemudian ia pun tertawa lepas. Anak dari pasangan Prof. Dr. Ir. Lucky Sondakh, MEc dan Ir Saul Kartini Dotulong, termasuk perempuan sadar diri. Ia tak ingin ketenarannya itu dijadikan aji mumpung meraup keuntungan.


Buat Angie, “Lebih baik saya mencari pemetaan atau positioning dimana saya bisa menonjolkan keunggulan-keunggulan saya yang lain,” papar Angie yang aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Mulai dari urusan politik hingga pornografi. Bahkan ia pun pernah membawakan makalah Save The Last Wild Orangutan di Harvad University.

Tata Rias Wajah dan Rambut: Eja, Busana dan Aksesori: Adjie Notonegoro

Tidak ada komentar: