Foto dan naskah: Darwis Triadi
Saya Tidak Kamera Face
Perempuan di hadapanku, matanya menatap langit-langit ruangan. Ia tengah merangkai kata dalam benaknya. Ia sedang mencoba untuk mengurai tanya yang kusodorkan kepadanya, tentang posisi wanita di kancah dunia politik yang didominasi kaum adam. Jemarinya yang lentik, mengusap beberapa helai rambut yang menempel dikeningnya.
Setelah menyelesaikan kalimat itu dengan kesungguhan, sarjana Ekonomi dari Unika Atmajaya Jakarta ini, kembali mengulas bibirnya dengan gincu berwarna merah. Banyak hal menarik dari mantan Putri Indonesia 2001 ini, batinku. Pengagum Mother Theresia, Hillary Clinton dan Margaret Thatcher ini memiliki segudang prestasi.
“Sekarang aku sudah siap untuk ditanya lagi,” tutur dara kelahiran Australia, 28 Desember 1977 ini, lantas tersenyum. Pertanyaan berikutnya mengenai, merekahnya industri perfilman di Indonesia. Kata Angie --begitu panggilan akrabnya-- diperlukan beragam piranti untuk melindungi industri film agar dapat berkembang secara sehat di Indonesia. “Sudah saatnya industri ini mendapat payung hukum yang baik,” tutur perempuan bertinggi 170 sentimeter dan berat tubuh 55 kilogram ini.
Kedua bola matanya terus bergerak. Keningnya beberapa saat sempat berkerut. Sepertinya penyuka olahraga renang ini masih menyimpan kalimat penting. Film, kata Angie, selain sebagai sarana hiburan, juga bisa menjadi sebuah mediasi untuk menjaga nilai-nilai luhur budaya. “Jadi film tak hanya ditempatkan pada satu ruang dan fokus pada profit oriented saja,” katanya lugas.
Buat Angie, “Lebih baik saya mencari pemetaan atau positioning dimana saya bisa menonjolkan keunggulan-keunggulan saya yang lain,” papar Angie yang aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Mulai dari urusan politik hingga pornografi. Bahkan ia pun pernah membawakan makalah Save The Last Wild Orangutan di Harvad University.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar