Selasa, 29 September 2009

“Pembantu” Pewarta Foto Era 1990-an


Telefoto

Kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah membuka ruang dan cakrawala baru dalam peradaban manusia. Semua hasil olahannya kian menipiskan segala sekat baik jarak, tempat maupun waktu. Sentuhan teknologi juga begitu kuat membawa perubahan pada dunia fotografi, baik dalam tataran konvensional maupun revolusioner. Kita tentu ingat bagaimana teknologi digital hampir merubah seluruh wajah dunia fotografi. Bahkan rentetan dari ditemukannya teknologi digital inipun kian menjadi-jadi. Karena hampir semua sisi dunia fotografi modern sudah tak bisa lepas lagi darinya.


Jauh sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi bergerak sangat jauh seperti sekarang, jarak merupakan kendala besar dalam menutupi gerak manusia. Dan persoalan jarak ketika dikaitkan dengan dunia fotografi khususnya jurnalistik tentu sangat besar pengaruhnya. Bagaimana tidak tugas seorang pewarta foto adalah memperlihatkan gambar hasil bidikannya ke seluruh dunia, terlepas dimanapun dia berada. Untuk sekarang soal tersebut tentu tak menjadi masalah besar karena teknologinya sudah mumpuni untuk melakukan hal itu. Tapi di tahun 80 sampai 90-an tentu itu menjadi masalah. Lalu bagaimana pada tahun tersebut sebuah foto dikirim?



Menurut pewarta foto senior Arbain Rambey, salah satu alat pengirim foto yang biasa digunakan oleh para pewarta foto kala itu adalah Telefoto. Adapun yang dimaksud Telefoto adalah: alat untuk mengirimkan foto jarak jauh dengan perantaraan saluran telepon. Jadi, gambar dipindai (scan), lalu data-datanya diubah menjadi data suara dan dikirim lewat jalur telepon. Saat sampai tujuan, suara dikembalikan menjadi gambar. Maka, jika saluran teleponnya sedang buruk, gambar yang diterima juga penuh "gangguan"menjadi banyak garis-garisnya. “Boleh dikatakan fungsi telefoto adalah untuk kirim foto dengan cepat, mirip faks gitulah,” papar Arbain.


Teknologi ini mulai digunakan sejak tahun 70-an, tapi diperkenalkan secara komersial baru pada akhir 80-an. Di Indonesia sendiri telephoto mulai digunakan sekitar awal 1990-an oleh beberapa media besar seperti KOMPAS, Suara Pembaruan dan ANTARA. “Harian KOMPAS membeli yang mereknya Leafax pada tahun 1990, harganya setara dua buah Toyota Kijang (waktu itu), dan langsung digunakan pada Piala Dunia 1990 Italia,” ujar Arbain. Sayangnya ketenaran alat ini tak berlangsung lama karena tak sampai lima tahun teknologinya sudah basi. “Tahun 1994 saat KOMPAS membeli Nikon Coolscan, dan mengirim foto lewat jalur digital, telefoto sudah ditinggalkan,” terang Arbain.



Secara bentuk sebenarnya alat ini sangat ringkas kira-kira sebesar kopor kecil, 30x50x20 cm. Dalam pengadaannya sendiri telefoto juga tak membutuhkan infrastruktur lain karena cuma memakai saluran telepon biasa. Arbain juga menegaskan bahwa keberadaan alat ini pada masanya sangat efisien karena pada era tersebut internet belum popular. “Untuk mengoperasikannya juga sangat mudah, terlepasa dari berapapun jaraknya selama ada saluran telepon telefoto tetap bisa digunakan,” tambahnya. Hanya saja kendala utama dari alat ini adalah kalau saluran teleponnya buruk (banyak noisenya). Karena hasil gambar yang diterima juga akan buruk.


Arbain mengaku pernah punya pengalaman menarik saat bertugas dengan menggunakan alat ini. Tepatnya pada tahun bulan Januari 1994, saat dirinya meliput tenis grand slam Australia Terbuka di Melbourne. Petugas di Bandara yang tidak tahu alat tersebut, harus memindainya sampai beberapa kali. “Mereka terus mengginterogasi saya dengan banyak pertanyaan. Intinya, mereka curiga dengan alat itu,” ujar Arbain mengenang. Saat ditanya apa keunikan dan dari telefoto bila dibandingkan dengan teknologi pengiriman foto sekarang? Secara tegas Arbain menjawab, “Telefoto sangat primitif. Sama sekali tidak ada kelebihannya. Dulu telefoto dipakai karena memang adanya hanya itu."

Tidak ada komentar: