Rabu, 01 April 2009

Dari Petak Sembilan Sampai Beos


Foto by: Darwis Triadi
Menelusuri China Town


Kawasan kota tua Jakarta layak dijadikan obyek wisata sejarah. Meski gedung-gedung baru pusat perbelanjaan modern megah berdiri disana-sini, bangunan-bangunan tua yang kental dengan arsitektur China, tetap dipertahankan dengan tidak mengubah bentuk yang ada.

Perjalanan menyusuri kota Jakarta tempo dulu, dimulai dari kawasan Pecinan yang populer dengan sebutan Petak Sembilan. Degup kehidupan di kawasan ini sudah dimulai sejak pagi. Dari gang-gang kecil yang terdapat di sebelah kiri sepanjang jalan kawasan Petak Sembilan, menguap aroma sedap makanan dari gerobak makanan dan warung.

Di China Town ini, juga didapati beberapa sinshe yang membuka praktek pengobatan sejak puluhan tahun lalu dan kios pedagang obat-obatan China yang dijual secara bebas. Ya, Petak Sembilan sebuah lingkungan pecinan dan pasar tradisional yang letaknya di belakang Glodok.

Tak jauh dari Petak Sembilan, ada sebuah gang kecil yang lebar jalannya kurang dari 2 meter (sekarang Jl. Pancoran V). Di zaman kolonial Belanda, warga Batavia mengenalnya dengan sebutan: Gang Kali Mati yang menjadi tempat berdirinya sejumlah rumah-rumah petak untuk menghisap opium yang dilegalkan oleh Pemerintah Belanda.

Sepanjang jalan ini, terbayang begitu banyak pria-pria tua yang sudah tak mampu berjalan, berbadan kurus, mengidap penyakit TBC dan kusta sedang mengisap opium. Baginya, opium dapat memperpanjang nyawa mereka. Di zaman Batavia, lokasi ini menjadi pusat distributor opium dan sorga bagi para pecinta barang haram itu.

Melangkah di kawasan ini, aroma hio terasa menyengat. Diujung jalan Petak Sembilan, tepatnya RT 003/02 No 3. Kel. Glodok, Kecamatan Tamansari, berdiri klenteng Jin De Yuan. Saat berada di dalam klenteng ini, suasana persahabatan akan terasa. Klenteng yang dibangun tahun 1650 oleh Letnan Tionghoa bernama Kwee Hoen dan dinamakannya Koan Im Teng (Paviliun Koan Im), dibuka untuk umum. Meski berbeda keyakinan, siapapun yang mengunjngi klenteng ini tetap diterima dengan ramah.

Bangunan peribadatan Tionghoa ini mempunyai ciri yang khas. Selain didominasi warna merah, juga dari segi arsitektur amat khas dan mengagumkan. Arah duduknya Utara menghadap ke Selatan dengan luas tanah sekitar 3.000 meter persegi. Secara makro membelakangi laut dan menghadap gunung.

Dalam perkembangannya, klenteng ini ikut dirusak dan dibakar dalam peristiwa pembantaian etnis Tionghoa terbesar dalam sejarah penjajahan Belanda di Indonesia. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 9-12 Oktober 1740 ini, mengakibatkan terbunuhnya sekitar 10.000 jiwa warga tidak bersalah, yang kemudian terkenal dengan sebutan: Tragedi Pembunuhan Angke. Hanya sebuah meja sembahyang berangka tahun 1724 yang tersisa dari peristiwa pambakaran klenteng ini.

Gedung utama Klenteng Jin De Yuan, ujung-ujung atap gedung induknya, ditutupi dengan genteng yang melengkung keatas, dihiasi dengan naga-naga dan beragam patung porselin. Di kanan dan kiri bangunan utama terdapat pintu samping yang jarang dibuka. Ujung bumbungannya mencuat ke atas dan terbelah dua dalam gaya yang disebut "Gaya Ekor Walet". Ssebab bentuknya mirip ekor burung walet yang ujung ekornya terbelah dua.

Di ruang tengah - Ta Tieng – begitu banyak patung buddhis berkualitas baik dari sebelum tahun 1740. Pada tembok kanan dan kiri bagian tengah dipasang kotak berkaca dengan delapan belas patung Arahat. Tiga patung besar dibelakang patung Guan Yin pada tembok belakang melambangkan San Zun Fo Zu, semacam tritunggal Buddhis, yang disertai sejumlah patung lebih kecil, yang sebagian berasal dari abad ke-18.

Dalam gedung samping kiri terdapat bekas kamar-kamar para rahib. Nama mereka masih tertulis pada beberapa lempeng batu. Dalam kamar pertama terpasang altar paling tua dari seluruh kelenteng. Kamar kedua diisi dewa Tao Fu De Zheng Shen (Hok Tek Tjen Sin)- Dewa bumi dan kekayaan. Dialah dewa yang paling dihormati di Jakarta, karena orang Tionghoa pada jaman dahulu bekerja sebagai pedagang dan petani.

Akhirnya di sayap kanan, dua kamar sembahyang diisi sebuah altar untuk menghormati Qing Shui Zu Shi, "Tuan karang Tangerang. Papan pujian (tahun 1757) yang tergantung di atas ruang utama dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa di klenteng ini terdapat berbagai aliran.

Tahun 1755, klenteng yang dibangun kembali oleh Kapten Oei Tjhie dan diberi nama: Kim Tek Ie berarti: Kelenteng Kebajikan Emas. Hal ini untuk mengingatkan manusia agar tidak hanya mementingkan kehidupan materialisme tetapi lebih mementingkan kebajikan antar manusia.

Dari kawasan perniagaan Pancoran Glodok, bangunan tua bersejarah yang kental dengan pengaruh arsitektur Belanda dan China dapat disaksikan di ujung Jalan Gajah Mada atau yang dilebih dikenal dengan sebutan stasiun kereta Beos. Di perempatan jalan ini, masih menyisakan rumah abu marga Thio/Zhang yang tak lekang di makan zaman.

Tidak ada komentar: