Senin, 27 April 2009

Warna-Warni Balinese


Foto by: Darwis Triadi

Seberapa mengerikankah ledakan bom yang memporak-porandakan Bali pada 2002 dan 2004? Orang-orang di luar wilayah pulau dewata tersebut mungkin sudah mulai melupakannya. Atau mungkin yang tersisa tinggal ingatan samar-samar. Kalau tidak percaya coba tes diri Anda sendiri. Masih ingatkah nama pub atau tempat makan yang hancur pada 2002 dan ledakan 2004?

Tapi jangan harap dua ledakan bom itu hapus dari ingatan dan hati orang Bali. Baik mereka yang tetap tinggal di tanah kelahirannya, maupun mereka yang telah merantau jauh dari Bali. Ketut, seorang Bali yang telah puluhan tahun meninggalkan tanah dewata menyimpan kemarahan tentang nasib Bali di hatinya.

“Dalam hati seorang Bali ketika dilahirkan hanyalah ada irama. Apakah itu bunyi gamelan atau doa. Tapi sekarang ada bunyi yang aneh. Letusan,” ujarnya. Mungkin kata-kata Pak Ketut tersebut terkesan mendramatisasi keadaan.

Tapi percayalah, kata-kata itu jauh lebih nyaman di dengar daripada mendengarkan sumpah serapah yang ditumpahkannya untuk mengekspresikan kemarahan dan kegundahan hatinya. Kemarahan atas perbuatan yang dianggapnya telah menghancurkan Bali.

Tapi jangan teburu-buru menganggap atmosfer di Bali saat ini hanyalah berkabut kemarahan. Cobalah sekali lagi datang ke sana, berinteraksi dan menatap langsung ke mata orang-orang kecil. Baik di art shop-art shop di Kuta Square hingga para penari di banjar-banjar dari Ubud sampai Nusa Dua. Yang ada hanyalah kepasarahan.

Orang Bali ada yang menganggap kejadian buruk ini sebagai suatu karma dari kesalahan Bali pada masa lalu dan harus dijalani mereka yang hidup saat ini. Karena itulah mereka meminta untuk tetap dapat bekerja di saat perekonomian terpuruk. Mereka berharap tetap melayani hotel di saat tamu-tamu wisatawan belum tertarik untuk kembali masuk Bali.

Bagi orang-orang ini, kepunahan itu identik dengan harapan. Mereka menginginkan suatu saat karma itu berlalu dan bali dapat pulih menjadi seperti sediakala. Bali yang menjadi tujuan kedatangan orang-orang di seluruh dunia.

Bagi mereka hidup harus terus berputar. Hidup yang berisi keseimbangan antara dunia dan nirwana. Karena itulah mereka tetap bekerja, memanjatkan doa kepada Sang Hyang Widi Wasa serta mengekspresikan jiwa seni mereka melalui kegiatan mengukir, bermain gamelan atau juga menari. Orang Bali dalam segala kegiatan seni mereka adalah, obyek fotografi klasik yang tidak ada habis-habisnya.

Seperti melanjutkan tradisi merekam wajah atau profil Balinese melalui sapuan kuas atau pun garis pensil oleh para pelukis masa lalu seperti: Le Mayeur, Walter Spies dan lain sebagainya. Dan hasilnya sperti tidak jauh berbeda dan tak dimakan zaman.

Wajah orang Bali terutama pedalaman serupa dengan setengah abad lalu. Kecuali tentunya wanita-wanita Bali tanpa penutup dada hasil karya pelukis-pelukis Belanda yang masih terpengaruh dengan semangat orientaslisme, aliran yang memandang wilayah Timur sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang elok dan polos.

Orang Bali entah sedang menari ataupun beribadah adalah wajah yang terlihat polos. Baik di obyek colorful atau pun black white. Kita hanya tinggal memilih menggunakan dua jenis fotografi ini berdasar kondisi.

Kostum penari Bali adalah fashion yang kaya warna seperti: merah, kuning, biru ataupun gold yang berkilauan. Tentunya perpaduan yang baik ini akan menjadi lebih baik dankeluar apabila difoto dengan menggunakan fotografi warna.

Namun teknik fotografi black and white adalah senjata paling ampuh untuk menangkap ekspresi orang-orang Bali.

Teknik Black and white akan “membunuh” gebyar seni tari Bali tetapi membuat orang mengenal ekspresi serta emosi di balik wjah orang-orang Bali.

Coba perhatikan pada ekspresi wajah para penari keris yang tengah trance dan menusuk dirinya. Kita ngeri menatap foto color tentang penari keris, namun kita akan berusaha menangkap sesuatu saat penari keris tersebut direkam dengan teknik fotografi hitam putih.


Tidak ada komentar: