Senin, 20 April 2009

Larasati Gading

Foto by: Darwis Triadi
Bye-bye ... Catwalk

Tak hanya karpet catwalk Indonesia yang pernah dicicipinya. Pendar-pendar lampu panggung Eropa pun pernah dirasakannya. Tapi baginya semua itu hanya nukilan masa lalu yang tak ingin lagi ditapakinya. Kenapa?

Ketika media hiburan tengah dikepung euforia kebebasan, imbas pun harus diterima oleh kaum seleberitis di negeri ini. Tak ada lagi ruang privasi bagi mereka. Sorot kamera hampir tak ada jeda menyisir setiap sudut kehidupan figur-figur publik. Hingga terkadang menjurus ke wilayah “teritorial” yang tak selayaknya menjadi konsumsi publik.

Pun demikian dengan Larasati I.R. Gading. Wanita yang akrab disapa Larasati ini pernah merasakan ketidaknyamanan serupa dan menjadi obyek pemberitaan. “Saya paling sebel kalau dibilang artis,” ujar Ibu dari Alyssa Pratieswari, Melisa Maharani, dan Laetisha Maheswari ini, menimpali pertanyaan bagaimana “beratnya” menyandang status artis dalam kesehariannya.

Menurut wanita kelahiran Stuttgart, 14 November 1971 ini, artis adalah orang-orang yang bekerja dalam sebuah lingkup kesenian. Dan dia merasa profesinya sama sekali tidak menyentuh area tersebut. “Artis itu kan asal katanya dari art (seni). Jadi pada dasarnya tidak sembarangan orang mendapatkan predikat tersebut,” ungkapnya.

Bak kehilangan konteksnya “embel-embel” artis kini begitu mudah menempel pada diri seseorang. “Sekarang orang sekali main sinetron atau difoto, sudah bisa dibilang artis,” ujarnya menanggapi maraknya fenomena selebritas “instan”.

Dan menurut Larasati, esensi seni membutuhkan interprestasi untuk memahaminya. Laras sendiri begitu tinggi mengapresiasi seni. “Saya menguasai banyak sekali seni tari tradisional Indonesia,” paparnya. Baginya, seni mampu mengisi relung-relung emosi manusia hingga ke sisi terdalam.“Seni itu seperti bumbu yang membuat hidup ini lebih terasa nikmat,” ujar pemilik tinggi 175 ini.

Dalam zona nyamannya, saat ini Laras lebih tenang merenda harinya. Wanita yang fasih berbahasa Jerman, Inggris, Perancis, Italia, dan Belanda ini, kian mantap melangkah di profesi yang jauh dari hingar bingar kamera. “Saya sekarang atlet dan bukan model lagi,” ujarnya mantap. Apalagi kata Larasati, kini intensitasnya mendalami olahraga berkuda berbuah rangakaian prestasi. “Ketika sebuah prestasi dihargai, ada sebuah kebanggan sekaligus tantangan. Apalagi setelah saya masuk tim Sea Games 2001, tanggung jawabnya semakin besar,“ ujar Laras.

Dalam catatan prestasinya, pengurus PB Pordasi ini pernah meraih medali Perunggu di Sea Games 2001 dan PON 2004. Ditambah beberapa kali menjuarai World Trace Challennge untuk Asia Tenggara dan Rusia. Dalam menjalani karirnya sebagai model, pemegang prinsip hidup “Santai Saja” ini sudah merasa pada titik paling nadir.

Warna-warni dunia model tak lagi menarik bagi pemilik kuda bernama Nikolaus. Keputusan untuk menjauhi dunia yang pernah membesarkan namanya ini dirasa sangat tepat . “Saya berhenti menjadi model sejak tahun 1997,” katanya. Bagi Larasati, saat ini tak sedikitpun terbersit untuk kembali ke dunia catwalk.

Ya, setelah menoreh tinta emas di dunia model, Laras punya satu obsesi yang ingin diwujudkannya. “Saya ingin menyumbangkan sebuah kepingan emas untuk Indoneisa nantinya,” katanya mantap.

Tidak ada komentar: