Rabu, 29 April 2009

Bali


Foto by: Darwis Triadi

Populer Lewat Brosur


Bali seolah memilki daya magnet yang besar. Tak ayal, pulau dewata ini begitu popular. Saking terkenalnya, suatu saat orang seorang bule (asing ditanya; apakah pernah ke Indonesia? Pria bule ini malah balik Tanya. Indonesia sebelah mana Bali, ya?

Padahal, Bali hanyalah bagian dari Indonesia. Tetapi begitulah. Bali memang dikenal oleh warga dunia karena pariwisatanya. Oleh karena itu, bisnis pariwisata di Bali berkembang amat pesat. Mulai dari pakaian pantai, rumah makan, penginapan seperti hotel dan resort.

Tulisan Agung Putri dari Jaringan Kerja Budaya yang berjudul “Pulau Dewata Surga Bagi Investor”, menarik disimak. Dalam tulisannya, dia menceritakan pembentukan posisi ”penting “ Bali sebagai tolok ukur stabilitas dan juga pertumbuhan ekonomi negeri ini sesungguhnya telah dibentuk sejak zaman kolonial.

Bali Merupakan daerah terakhir yang berhasil ditaklukkan Belanda untuk menetapkan kekuasaannya di kepulauan Nusantara pada awal abad ke 20. Proses penaklukan yang berdarah ini ternyata menimbulkan protes keras dari kalangan borjuis lieberal eropa sehingga penguasa kolonial perlu menampilkan wajah yang lebih manusiawi.

Maka, para penguasa, industrialis-pedagang dan intelektual pun bersekutu menciptakan “Pulau Dewata” istilah yang pertamakali di populerkan oleh brosur maskapai dagang kerajaan Belanda, KPM (Koninklijke Paketwaart Maatschappij) pada 1914.

Gambaran Bali yang romantis, harmonis dan “asli” jadi dagangan utama, menyingkirkan seluruh masalah sosial, ketegangan dan keributan yang muncul di kalangan masyarakatnya. Kalau pun ada kekerasan yang tak mungkin ditutupi, --seperti Puputan di Badung, Tabanan dan Klungkung – maka selalu saja ada intelektual yang bisa mereduksinya sebagai bagian dari Bali yang magis dan misterius.

Nama Bali makin terkenal setelah pada tahun 1932 rombongan Legong Peliatan melanglang buana ke Eropa dan Amerika atas prakarsa orang-orang asing dan pada tahun berikutnya makin banyak saja seni tari Bali yang diajak melanglang buana ke mancanegara. Selama pementasan selalu pertunjukan tersebut mendapat acungan jempol.

Bali yang pada saat itu sudah cukup dikenal masyarakat internasional karena keindahan alam, keunikan adat istiadat dan keseniannya, dianggap paling tepat menjadi “jendela pajangan Indonesia.”

Pada tahun 1965, Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan kelompok negara-negara industri pemberi bantuan untuk Indonesia, IGGI, merancang Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) bagi Indonesia. Untuk 5 tahun pertama (1965-1974), turisme internasional ditetapkan sebagai faktor penentu pembangunan ekonomi Indonesia, dan Bali menjadi situs utama industri pariwisata.

Tahun 1970 dengan arahan konsultan turisme Perancis, SCETO dan dukungan financial dari Bank Dunia dan UNDP serta Keppres 1971, banyak barisan pemodal dari berbagai penjuru dunia berbondong-bondong membangun hotel, restoran serta mengembangkan industry kerajinan tangan dan hiburan.

Gempuran industri pariwisata tak hanya mengubah tampak fisik Bali sesuai dengan impian pemodal. Tetapi juga berhasil menanamkan ide bahwa Bali secara “alamiah” memang menarik minat turis.

Para seniman dan pengrajin mau tak mau tersedot ke dalam proyek-proyek “usaha kecil” untuk memproduksi kesenian massal. Mulai dari tulang sapi, batok kelapa hingga kerang tak luput menjadi barang dagangan.

Perkembangan berikutnya, sanggar-sanggar tari di pedesaan tidak lagi berfungsi sebagai tempat belajar menjadi penari yang baik. Tetapisebagai pusat latihan menjadi penari hotel. Pada “musim turis”, selusin gadis dan pemuda cilik peserta sanggar akan dibawa dengan truk pick - up untuk menari dari satu hotel ke hotel lain setiap malamnya.

Pertengahan 1980-an, di Bali mulai berkembang wisata jurang dan lembanh sungai. Salah seorang perintis wisata jurang ini adalah I Wayan Munut, yang membeli tanah di tepi jurang, untuk selanjutnya dibangun sebuah bungalow.

Kemudian hal ini menjadi ngetrend di Bali hingga sekarang ini. Harga tanah yang pada awal 1980 di daerah lembah atau jurang ini hanya Rp 125.000-175.000 per are. Kini harga tanah jurang sudah mencapai ratusan juta rupiah per are. Ternyata banyak wisatawan mancanegara yang gemar (menggemari) wisata jurang, lembah, dan sungai ini.

Tempat hunian yang sekarang digemari wisatawan asing di Bali adalah Hotel yang dibangun di lereng-lereng tebing atau jurang, yang memberikan suasana magis bagi para penghuninya. Kalau pada 1970 hingga 1980-an, hotel tau losmen di tepi pantai yang mereka gemari, sekarang sudah berubah.

Banyak wisman lebih senang menyepi atau menikmati wisata spiritual. Karena indahnya berbagai obyek pariwisata di Bali itu, citra (image) Bali lebih terkenal daripada Indonesia, di mata orang asing. Dan ini artinya dollar masih terus mengalir ke Pulau Dewata.

Tidak ada komentar: