Senin, 06 April 2009

Pesona Si Kota Gudeg

Foto by: Darwis Triadi
Yogyakarta

Kota yang dahulu merupakan pusat kerajaan Mataram (1575-1640) itu “menyentil” hati yang lupa akan kekayaan sejarah dan budaya negeri ini. Panorama menawan dan kesenian yang menjadi pemanisnya, semakin memanjakan jiwa.

Mata lelaki tua itu nanar menyisir hamparan rumpun padi nampak berkilau warna warni akibat pancaran sinar matahari pagi. Permukaan kulitnya nampak berpeluh, namun tak terlihat kelelahan yang berarti. Ia melangkah perlahan tapi pasti, penuh percaya diri dibalik busana tradisional Jawa yang membalutnya.

Pemandangan masyarakat yang mengenakan busana tradisional Jawa lengkap dengan senjata Keris sungguh biasa di daerah Kraton Ratu-Boko, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kebanggaan akan budaya lokal yang melekat dalam keseharian masyarakatnya merupakan realitas mengagumkan di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi.

Tak hanya si Pak Tua dan masyarakat di sekitar Kraton Ratu-Boko yang merefleksikan kekuatan budaya provinsi di selatan pulau Jawa ini. Lebih dari empat juta penduduk serta artifak, bangunan dan kesenian Daerah Istimewa Yogyakarta mempertegas kekayaan kota “Gudeg” yang merupakan saksi bisu beragam peristiwa bersejarah.

Hamemayu Hayuning Bawana terbilang sebagai filosofi berkembangnya kota ini. Ungkapan luhur yang kurang lebih berarti upaya pencapaian kesempurnaan tata nilai kehidupan masyarakat berdasarkan pengembangan seni dan kebudayaan. Berangkat dari filosofi itu pula, perputaran roda perekonomian Yogyakarta disokong oleh hasil cocok tanam, berbagai seni kerajinan, hingga pengelolaan apik sisa-sisa sejarah yang menjadi komoditas pariwisata.

Salah satu yang paling identik dengan kota bermula dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang didirikan Pangeran Mangkubumi adalah arsitektur bernilai seni tinggi dari candi-candi peninggalan kerajaan-kerajaan agung. Seperti, mahakarya kebudayaan Hindu di abad ke-10, yakni Candi Prambanan, Candi Ijo yang letaknya paling tinggi di dataran Yogyakarta, hingga candi Budha terbesar dari abad ke-9, Borobudur.

Selain mengagumi pesona candi-candi, terdapat pula sasaran wisata yang menarik, seperti Kotagede yang merupakan peninggalan kerajaan Mataram Kuno, atau Kraton Yogyakarta merupakan poros tengah dan dikelilingi barisan pegunungan yang disebut Cakrawala sebagai tepian jagad. Ditambah lagi kesenian khas seperti Kethoprak, Jathilan atau Wayang Kulit yang merupakan “bumbu” penyedap yang tak kalah lezat.

Semakin lengkap pula keindahan Yogyakarta dengan keramahan yang khas. Senyum tulus penuh sambutan dari sederet wanita yang sedang menyemai sawah, sapaan hangat pria setengah baya yang sedang menikmati tembakau padat produksi lokal hingga alunan musik nan ritmis dari musisi “jalanan” di tepian, membuat hati ini menggoreskan pengalaman tak terlupa.

Kini si pak Tua sedang menggoda seekor burung didalam sangkar di muka rumah sederhananya. Jarinya menjentik, siulnya nyaring terdengar. Menyajikan harmoni indah yang selaras dengan keagungan alam berbalut kebudayaan yang begitu dijunjungnya. Melukiskan kerinduan akan kebahagiaan abadi yang tak lekang ditelan waktu.




Tidak ada komentar: